Rabu, 26 Oktober 2016

HUJAN TERAKHIR BERSAMAMu

Hujan Terakhir Bersamamu

Oleh S. A.alwi

Gadis ini mencengkram erat kepalanya. Di tengah hujan, dia masih harus mengalami perdebatan sengit antara hati dan otaknya. Dinda, begitu gadis ini disapa. Menangis di tengah hujan yang sangat deras memang efektif karena tetesan air matapun takkan terlihat.

Dinda berjalan di koridor kelas dengan lesu. Bagaimana tidak, fikirannya benar-benar sedang kacau. Apalagi kalau bukan karna cinta. Tepatnya karna Denis, si pangeran berkuda putih itu. Sebenarnya Denis hanyalah pria biasa, hanya saja cinta membuat Denis terlihat tak biasa di mata Dinda. Mungkin Dinda melihat menggunakan mata hati. Mungkin.

Tak ada yang buruk dari mengenal Denis. Hanya saja Denis terlalu untuk Dinda. Terlalu baik, terlalu tampan, terlalu pintar.. Nyaris sempurna. Dulu, Dinda tidak suka pada Denis, bahkan Dinda membencinya. Tapi sekarang? Ia menyukainya. Atau mencintainya. Mungkin.
“Din, kamu baik-baik saja?” Suara itu. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga Dinda. Dan benar saja, ketika Dinda melihat siapa orang itu. Ternyata Denis.
“Aku? Aku baik-baik saja.” Jawab Dinda. Sungguh dibalik kata baik-baik saja ada kata tidak dalam keadaan baik yang tersembunyi. Perempuan. Bukankah itu salah satu keahliannya untuk menutupi perasaan mereka yang sebenarnya?

Seperti biasa, Dinda duduk di samping Gisha. Gisha dulunya adalah gadis yang Denis sukai. Gisha itu perempuan yang cantik, pintar, dan pandai bergaul, hampir tak ada celah pada dirinya. Tapi itu dulu, sampai Denis berkata kalau ia menyukai Dinda. Dinda mendengus geli ketika otaknya memutar memori antara Dia, Gisha dan Denis.

Waktu itu, hujan sangat lebat. Dinda dan Gisha menunggu hujan itu berhenti. Gisha sibuk mengamati hujan yang deras itu, tetapi Dinda justru menikmatinya. Aroma hujan, Dinda selalu menyukai itu. Rintikan hujan mengalun seperti sebuah musik di telinganya. Dinda menikmati itu sampai dia tahu bahwa Denis memberikan jaketnya untuk Gisha. Dinda benarbenar cemburu hingga dia lepas kendali.
“Din maaf.. Aku nggak mau semua berakhir sampai di sini?”

Dinda sempat bingung dengan isi pesan singkat Denis. Kata-katanya sedikit sulit untuk dicerna oleh otaknya. Bahkan butuh waktu yang lama untuk memikirkan kata-kata Denis. Tetapi akhirnya Dinda menjawab
“Apa yang berakhir? Nggak ada yang berakhir. Semuanya akan sama seperti dulu. Maaf, tadi aku memang lagi emosi. Jangan berlebihan menanggapinya. Nothing gonna change Denis, trust me.”
Tiba-tiba Dinda tersadar dari lamunannya karena guru sudah memasuki kelas. Lagi-lagi matanya kembali menangkap sosok Denis. Denis sibuk dengan perempuan itu. Target baru mungkin. Dinda pura-pura tidak memperdulikannya. Dinda harus fokus. Ini demi mimpinya juga kebahagiaannya.

Jam tambahanpun berakhir. Semua anak-anak sibuk mengobrol sana-sini, membicarakan rencana mereka sepulang jam tambahan. Dinda sedang fokus membereskan buku-bukunya. Memastikan bahwa tak ada satupun barangnya yang tertinggal. Tapi tiba-tiba sosok itu mengusiknya, lagi.
“Tidak. Hanya ingin melihat kamu. Dinda yang fokus benar-benar lain ya.”

Dinda mengangkat sudut bibirnya ketika mendengar kata-kata Denis.
“Eh? Dinda tersenyum?”

Setelah mendengarnya, Dinda segera merubah raut wajahnya. Dinda menyesali senyumannya tadi. Harusnya ia tidak memberikan senyuman berharganya itu kepada Denis. Si pemberi harapan palsu.
“Dinda, ada yang mau aku bicarakan. Kita keluar sebentar ya”

Dinda segera keluar bersama Denis sebelum teman-temannya melihat. Ketika Denis mengajak Dinda untuk mengobrol di tempat teduh, Dinda menolaknya. Dinda beralasan kalau saat ini hanya hujan. Hujan air, dan lagipula Dinda suka hujan.
“Mau bicara apa?” tanya Dinda.
“Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu menjauhiku. Kamu nggak pernah mengirimiku pesan singkat. Bahkan seperti kamu membenciku. Aku salah apa sama kamu?” jawab Denis yang kembali bertanya.
“Semuanya sudah berakhir”
“Berakhir? Maksudmu? Apa yang berakhir?”
“Kita.”

Beberapa menit kemudian Dinda meralat kata-katanya
“Maksudku bukan kita. Tapi aku dan kamu. Bukankah aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita?”
“Kamu ini bicara apa Dinda. Siapa yang bilang kalau kamu dan aku tidak akan pernah menjadi kita?”
“Takdir. Takdir memang tak pernah berkata tentang hal itu. Tapi, takdir menunjukkannya.”
“Takdir tak pernah menunjukkan itu Din” jawab Denis tegas.
“Tak pernah? Bagaimana dengan kebudayaan kita? Bukankah itu cukup menunjukkan kalau kita tidak bisa bersama? Kamu keras sedangkan aku lembut. Kamu api sedangkan aku air. Kita berbeda, bahkan jika kita bersama maka kita akan menghancurkan satu sama lain.”

Hujan semakin deras. Sebanyak air hujan itulah air mata Dinda yang ditahannya. Mungkin untuk terakhir kalinya, Dinda ingin Denis mengingat senyumnya, bukan tangisnya.
“Kenapa kamu menginginkan ini berakhir? Bukankah terlalu awal untuk mengakhirinya?”
“Kenapa kamu bertanya kepadaku? Kamu yang mengakhirinya. Bukan aku.”
“Aku? Aku tak pernah mengatakan ingin mengakhiri semuanya.”
“Sekali lagi, mungkin lidahmu terlalu kelu untuk mengatakan bahwa semua ini telah berakhir. Tetapi kamu berhasil menunjukkan. Kamu menunjukkan tanda-tanda bahwa kamu ingin mengakhirinya.”
“Din.. Dulu aku kan pernah bilang kalau aku nggak mau —” ucapan Denis terpotong karna Dinda segera menjawab
“Itu dulu Sekarang, tanda-tandanya sudah jelas bahwa kamu ingin mengakhirinya.”

Hening. Denis tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Tak pernah terfikirkan oleh Denis kalau Dinda akan mengatakan hal-hal seperti ini. Denis tak tahu apa yang membuat Dinda berubah seperti ini.
“Lagipula, kamu sekarang sudah punya pacar, kan?” kata Dinda yang sepertinya ingin menyindir Denis.
“Pasti kamu bingung aku tahu dari mana kalau kamu sudah punya pacar.” sambung Dinda sambil memaksakan senyum pada wajahnya.
“Pastinya. Kamu ini jangan-jangan penguntit aku ya.” Denis benar-benar tertawa lepas dengan jawabannya tadi. Bahkan Dinda ikut terkekeh dengan jawaban Denis.
Tiba-tiba Dinda berhenti tertawa. Dia memperhatikan Denis yang masih tertawa lepas. Mungkin ini terakhir kalinya Dinda melihat Denis tertawa karnanya dan bersamanya. Dinda menatap wajah Denis lekat-lekat. Ia mencoba mengingat setiap lekuk wajah Denis. Jika Tuhan tak mengizinkannya untuk memiliki Denis, maka biarkanlah Dinda memiliki kenangan tentang Denis. Tetapi Dinda tak ingin mengingat kenangan ini setiap saat. Biarkanlah hujan menyimpan kenangan antara Dinda dan Denis.

Tanpa sadar Dinda menitihkan setetes air matanya. Dia berbalik membelakangi Denis. Pundaknya bergetar hebat. Tangisannya benar-benar tak bisa ditahan lagi. Suara tangisnya pecah diantara lebatnya hujan. Denis segera menghentikan tawanya. Dia menatap punggung itu. Punggung gadis yang dulu sempat menjadi tempat pertama saat sedih maupun senang. Denis tahu betapa rapuhnya gadis ini.

Dinda segera menghapus air matanya. Mengatur suaranya agar tak bergetar saat berbicara dengan Denis nantinya. Dinda membalikkan tubuhnya dan tersenyum kaku saat melihat Denis. Denis membalas senyuman Dinda dengan tulus. Dinda tak tahu harus bagaimana atas sesuatu yang telah berakhir. Yang terbesit di benaknya adalah betapa bodohnya dia. Dinda juga tahu bahwa hujan akan membawanya pada kenangan antara dia dan Denis, tetapi pada saat hujan berhenti kenangan itu sedikit demi sedikit akan menghilang.

Dinda beranjak dari duduknya. Begitu juga dengan Denis.
“Sepertinya aku harus pulang. Hujannya semakin deras. Dan kamu juga harus pulang.” kata Dinda.
“Aku harap setelah hujan ini akan ada pelangi. Pelangi yang menghubungkan aku dengan pasanganku, dan kamu dengan pasanganmu.” sambungnya.
Dinda pergi meninggalkan Denis lebih dahulu. Dinda kini sadar bahwa tak selamanya pangeran baik untuknya. Dan hujan? Terimakasih untuk hujan karena bersedia menjadi pengingat kenangan yang Dinda miliki.

Kisah pemuda miskin jatuh cinta kepada gadis kaya

Suatu hari Pemuda itu ngelamar si gadis
Gadis itu berkata, "Dengar ya, gaji bulananmu sama dgn pengeluaran harianku..!
Haruskah aku menikah dgnmu ? Aku tidak akan pernah mencintaimu. Jadi, lupakan diriku dan menikahlah dgn org lain yg setingkat dgnmu"

Tapi entah kenapa si Pemuda tidak bisa melupakannya begitu saja.

10 tahun kemudian, mereka bertemu disebuah outlet pizza Wanita itu berkata, "Hei Kamu!! Apa kabar ? Sekarang aku sudah menikah lhoo...
Apakah kamu tahu berapa gaji suamiku ?
Rp.20 juta perbulan! Dapatkah kamu bayangkan ?
Dia juga sangat cerdas"

Pemuda berlinang air mata mendengar kata2 wanita itu, namun ttp berusaha tersenyum.
Beberapa menit kemudian suami wanita itu datang. Sebelum wanita itu bisa mengatakan sesuatu lagi, suaminya berkata : "Pak...?! Saya terkejut melihat Anda disini. Kenalkan istri saya."
Lalu dia berkata kepada istrinya,"Kenal­kan Bosku, Boss masih lajang lho..
Dia mencintai seorang gadis tapi gadis itu menolaknya. Itu sebabnya dia masih belum menikah. Malang nian gadis itu..
Bukankah sekarang tidak ada lagi orang yang mencintai seperti itu??. "

Wanita itu merasa terkejut dan malu sehingga tidak berani melihat kedalam mata si Pemuda...

Kadang orang yang kita sakiti dan kita hina jauh akan lebih sukses dari pada yang kita bayangkan.

Setelah semua terjadi timbullah sebuah penyesalan dari dirinya.

sekuntum bunga cantik berwarna ungu



Semalam hujan membasahi jendela
Aku menuliskan namamu
Semalam denting pisau dan garpu
Menjadi melodi indah dan sendu
Jika aku harus amnesia
Jika harus melupakan semuanya
Biarlah sekuntum bunga cantik berwarna ungu
Yang menjadi satu-satunya kenangan terindah

Jika semalam hanya mimpi
Bolehkah aku kembali tidur dan mengulanginya lagi?
Jika ini cinta bolehkah aku menyimpannya?

Jika kelak kita berjodoh
Tolong simpan senyum itu
Sekuntum bunga cantik berwarna ungu


Mungkin ada yang nggak setuju dan tidak memberikan restu
Tapi kamu tetap sekuntum bunga berwarna ungu

Comments system

Disqus Shortname